BKPPMI

BKPPMI
Badan Kerjasama Pondok Pesantren Madrasah Indonesia I Facebook : BKPPMI Pontren Madrasah I Twitter : BKPPMI I Yahoo Messenger : bkppmi I e-Mail : bkppmi@yahoo.com/bkppmi@gmail.com

Senin, 12 September 2011

Bahtsu Al Masail: Pemecah Masalah atau Pencari Masalah?


Cetak E-mail
Ditulis oleh Umar Abdul Hasib   
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia selain itu Pondok pesantren juga yang menjadi ciri khas agama Islam di Indonesia, founding father dari pesantren adalah Sunan Ampel dengan pesantren Ampel Dento-nya di surabaya, selain itu Pesantren juga menjadi barometer penentu dapat dikatakan kuat dan tidaknya Islam pada suatu daerah. 
Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Di dalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren ( kiai ) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal
dalam Pesantren, Beliau-Beliau selalu menjadi panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.
Asumsi serta Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan sebuah persepsi yang keliru dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika lain yang tak jauh berkisar dari sendi-sendi kehidupan. dengan cara bertukar pikiran sesama
santri maupun sesama para kiai.
Bahtsu Al Masail, setidaknya nama itulah yang telah lazim digunakan kaum sarungan dalam rangka menjawab dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada, baik itu dari berasal dari dalam lingkup pesantren itu sendiri atau permasalahan-permasalahan yang datang dari luar institusi tersebut. Bertolak dari pengalaman penulis yang juga pernah mengenyam pendidikan pesantren (yantri ), ada beberapa hal yang kurang ( baca: kelemahan ) dari praktek Bahtsu Al Masail tersebut, pertama: Mengenai masalah yang di pilih, dalam tataran praksisnya kebanyakan soal-soal yang ditampilkan berupa hal-hal yang ( kebanyakan ) ringan
dan menurut penulis tidak perlu untuk di perdebatkan. Memang dari satu sisi mengenai pemilihan soal cukup baik yaitu permasalahan yang diangkat adalah masalah-masalah yang masih hangat ( aktual ) dan juga faktual. dalam bahasa pesantrennya sesuai dengan waqi’iyyah yang terjadi.
Hal semacam diatas mungkin lebih dikarenakan program Bahtsu al Masail ja’im ( jaga image ) agar tetap diakui eksistensinya oleh masyarakat maka setiap ada pertanyaan dari masyarakat langsung di Bahtsu-kan tanpa ada proses penyaringan terlebih dahulu, kira-kira pantas tidak permasalahan tersebut untuk di bahas? kemungkinan lain adalah pertanyaan melalui penyaringan tapi lebih dikarenakan badan penyaringan soal tersebut lemah maka kwalitas soal yang dibahas pun terkesan instant-instan saja. contoh kecil wiridan ba’da sholat, bagaimana hukumnya? Iddah bagi perempuan yang telah mengetahui rahimnya kosong bagaimana? masih wajib iddahkah dia? dan masih banyak hal-hal ringan lain yang di bahas.
Hal kedua yang menyebabkan lunturnya eksistensi Bahtsu Al-Masail adalah semakin banyaknya permasalahan yang tak bisa terselesaikan dengan dalih dikarenakan tidak adanya dalil yang shorih, sebetulnya bukan tidak ada tetapi lebih karena tidak mempunyai keinginan atau bahasa kasarnya tidak mau untuk mencari alternatif .
Kebanyakan para aktivis Bahtsu Al Masail hanya menggunakan salah satu dari empat mashadir al ahkam ( sumber-sumber hukum ) yang bersifat muttafaq alaih ( tidak dipersengketakan keabsahannya ) dan ironisnya itupun hanya sebatas dari madzhab Syafi'i saja, kalau mau jujur jika kita gali lebih dalam, bagaimana masalah-masalah yang menumpuk bisa terselesaikan jika mereka hanya menggunakan empat sumber hukum saja? empat sumber hukum yang dimaksud adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas-karena mesin terakhir yang bernama qiyas tidak akan berfungsi jika tidak ditemukan dalil yang implisit mengenai maqis alaih-nya (tempat untuk menganalogikan ), mereka tidak berani dan bahkan cenderung tidak mau untuk memakai mashadir al ahkam merk lain seperti Urf, Istishab, Mashlahatul Mursalah, Istihsan, Sad Ad Dariah dan lain sebagainya. dan pertanyaanya bukankah eksistensi Bahtsu Al Masa'il terletak pada bagaimana ia mampu menyikapi, menjawab dan bahkan memberi solusi pada permasalahan yang ada?
Kesan yang timbul adalah para santri aktivis Bahtsu Al Masa'il hanya mampu sebatas untuk muhafadhoh ala al qodim as shalih, masih berjiwa konsumen dan tidak berani untuk akhdu bi al jadid al ashlah, tidak mampu untuk menemukan inovasi atau semacam terobosan-terobosan baru, satu wacana yang menurut penulis perlu untuk di pikirkan lagi yaitu paparan dari Gus Dur tentang jargon NU tersebut yaitu alangkah baiknya jika jargon tersebut di bubuhi dengan kata al ijad yang berarti menciptakan, dengan demikian perlahan kita akan dapat melepaskan diri dari label ‘konsumen’ yang selama ini akrab dan melekat pada kita.
Ada satu cerita yang mungkin bisa untuk kita jadikan bahan perenungan, suatu kesempatan ketika ada mata kuliah gramatikal arab, Dosen membahas tentang idiom ‘bahatsa an’ yang berarti mencari, salah seorang mahasiswa bertanya "Pak kalau Bahtsu Al Masail apa juga temasuk dalam idiom tersebut?" sontak seisi kelas
tersebut tertawa. Dari cerita tersebut penulis mencoba mengajak untuk merenungi kembali setidaknya itulah akibat dari lunturnya eksistensi Bahtsu Al Masa'il.
Ketika lafadh bahatsa pada Bahtsu Al Masa'il di golongkan pada idiom tersebut, maka Bahtsu Al Masa'il mempunyai arti mencari masalah bukan menyelesaikan masalah.tetapi dalam prespektif ilmu lughoh idhofah dengan menyimpan huruf an tidaklah ada.
Bertolak dari permasalahan diataslah penulis mencoba untuk memberikan beberapa solusi yang mungkin akan bisa menjadi entry point serta masukan yang mungkin layak untuk diperbincangkan untuk selanjutnya. Pertama sebagai upaya awal untuk meminimalisir terjadinya soal-soal yang kurang berbobot maka sudah menjadi sebuah keharusan bagi para santri yang bersinggungan langsung dengan bahtsul masa'il untuk mendirikan suatu badan yang terdiri dari mereka-mereka yang capable dalam bidang pengurusan soal sebelum dibahas ke dalam forum Bahtsu Al Masa'il untuk lanjutnya.Hal tersebut secara implisit maupun eksplisit akan berdampak pada kualitas soal yang akan di bahas pada forum bahtsul masa'il baik di tingkat even pesantren, kabupaten, dll.
Hal kedua yang perlu untuk segera di terapkan adalah revitalisasi ushul fiqh, hal tersebut penting mengingat banyaknya persoalan-persoalan yang tak dapat dijawab dengan dalih tidak adanya ibarat yang sharih atau implisit mengenai permasalahan tersebut.dengan diterapkannya revitalisasi ushul di harapkan persoalan persoalan dari masyarakat yang mauquf dapat segera terselesaikan mengingat yang dibutuhkan masyarakat adalah bukan hanya jawaban semata tetapi juga memerlukan solusi. Ambil contoh ketika ada permasalan mengenai sesajen yang sudah membudaya di daratan pulau jawa khususnya jawa tengah, ketika dari kitab kitab syafiiyyah tidak ditemukan dalil yang secara implisit menyinggung masalah tersebut maka jangan sekali-kali dari kita untuk berani me-mauquf-kan persoalan semacam ini. karena ketika kita dengan gegabah memangkas persoalan semacam diatas maka akan memunculkan stiqma dimasyarakat bahwasanya Hukum Islam ( fiqih red ) tidak up to date. Dari sini konsep al islam solihun li kulli zamaanin wa makaanin akan terkikis, dan lambat laun semakin banyak para pemeluk Islam yang akan mendebit saldo kepercayaan mereka dan berbondong-bondong pindah keyakinan.
*Penulis Adalah Alumnus P.P Ngangkruk Ngangkruk Bandungsari Ngaringan Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar